DAN
KEBEBASAN PERS PADA MASA ORDE LAMA
D
I
S
U
S
U
N
O L E H :
NAMA : Al Chaidir Nawawi Selian
NIM : 308 121 001
KELAS : C Reguler 2008
PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
TAHUN AJARAN 2010/2011
KEBEBASAN PERS PADA MASA ORDE BARU
PENGERTIAN PERS
Pers merupakan suatu lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang menjalankan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan berbagai jenis media dan saluran yang tersedia. Pers juga dapat dinyatakan sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang kegiatannya melayani dan mengatur kebutuhan hati nurani manusia selaku makhluk sosial dalam kehidupannya sehari-hari sehingga dalam organisasinya pers akan menyangkut segi isi dan akibat dari proses komunikasi yang melibatkannya.
Ditinjau dari sistem, pers merupakan sistem terbuka yang probabilistik. Terbuka artinya bahwa pers tidak bebas dari pengaruh lingkungan; tetapi dilain pihak pers juga mempengaruhi lingkungan probabilistik berarti hasilnya tidak dapat diduga secara pasti. Situasi seperti itu berbeda dengan sistem tertutup yang deterministik. Dalam buku “Four Theories of the Press” dengan penulis; Fres S. Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm. bahwa Pers dapat dikategorikan menjadi;
1. authoritarian press (pers otoritarian)
2. libertarian press (pers libertarian)
3. soviet communist press atau pers komunis soviet
4. social responsibility press atau pers tanggung jawab sosial.
Dalam perkembangannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Pers dalam pengertian luas meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk pers elektrolit, radio siaran, dan televisi siaran. Sedangkan pers dalam arti sempit hanya terbatas pada pers cetak, yakni surat kabar, majalah, dan buletein kantor berita.
Jika pers nasional hendak diposisikan sebagai agent of reform (karena sebagian besar media massa nasional selalu menyuarakan gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa) maka lembaga masyarakat ini pantas pula memiliki kedudukan sebagai kekuasaan keempat (the fourth estate). Artinya, kedudukan pers sejajar dengan legislatif, yudikatif, dan eksekutif.
PENDAHULUAN
Pernyataan di atas dapat kita artikan sebagai pentingnya kedudukan pers dalam sebuah negara. Meskipun urgensi pers ini pada kenyataannya tidak sampai yang seperti apa Muis kehendaki. Tapi, yang jelas dalam negara yang mengusung demokrasi sebagai panglima pemerintahan, pers harus tetap ada meskipun peran-perannya untuk beberapa saat dikebiri.
Urgensi pers pada titik ini justru terlihat, bagaimana sebuah pemerintahan mengebiri fungsi pers atas nama keamanan atau alasan lainnya. Artinya, secara potensial pers memiliki posisi tawar yang tidak sedikit. Hal tersebut juga dipertegas dengan konsepsi Riswandha (1998: 101), bahwa ada empat pilar pemelihara persatuan bangsa, salah satunya adalah kaum intelektual atau pers. Kelompok inilah yang memainkan peran sebagai pemikir dan penguji konsep-konsep yang diterapkan pada setiap kebijakan.
Di Indonesia sendiri, melihat urgensi pers kita bisa mengambil dua rentang waktu yang sama sekali berbeda. Orde Baru seperti kita ketahui adalah sebuah rezim yang otoriter yang sempat memberangus kebebasan pers atas nama keamanan dan ketertiban masyarakat. Sedang rentang waktu terkhir digambarkan sebagai masa ketika kran-kran kebebasan terbuka. Terbukanya kran kebebasan ini ada juga yang melihatnya sebagai keterbukaan yang kebablasan.
Yang jelas dengan mengambil dua skuel waktu itu kita akan dapat membedakan bagaimana pola komunikasi yang dibangun oleh masing-masing rezim. Karena stiap rezim pati memiliki sebuah gaya kepemimpinan untuk mensukseskan jalannya pemerintahan; otoriter, demokratis atau bahkan laizes feire.
PERS YANG MANDUL PADA ORDE BARU
Di masa Orde Baru mungkin nasib pers terlihat sangat mengkhawatirkan. Bagaiamana tidak, pers sebegitu rupanya harus mematuhi rambu-rambu yang negara telorkan. Dan sejarah juga memperlihatkan kepada kita bahwa adanya PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) tidak membawa perubahan yang sinifikan pada pola represi itu. Yang ada justru PWI dijadikan media yang turut mencengkeramkan kuku-kukunya pada kebebasan pers di tanah air.
Hal tersebut terlihat ketika terjadinya pembredelan pada beberapa media massa nasional yang sempat nyaring bunyinya. Ketika Tempo, Eitor dan DeTIK dibredel oleh pemerintah, PWI yang seharusnya menggugat justru memberi pernyataan dapat memahami atau menyetujui keputusan yang sewenang-wenang itu. Lalu PWI pula justru mengintruksikan kepada pemimpin redaksi agar memecat wartawannya yang bersuara nyaring terhadap pemerintah. Sehingga tidak salah jika Surbakti (1997: 43) mencatat bahwa PWI adalah salah satu dari alat pengendalian pers oleh pemerintah.
Pada titik itulah Orde Baru memainkan politik hegemoninya melalui model-model pembinaan. Setidaknya, ada dua arah pembinaan yang dapat kita lihat; pertama, mengimbau atau tepatnya melarang pers memberitakan peristiwa atau isu tertentu dengan segala alasan dan pembenaran, dan menunjukan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pers. Pada kenyataannya pers pada masa itu sedemikian dekatnya dengan logika self-censorship, baik hal ini dipaksakan oleh negara atau pun keinginan murni dari pemimpinnya.
Bentuk lain dari hegemoni negara atas pers di tanah air adalah munculnya SIUPP yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers. Orde Baru sedemikian ketatnya dalam hal pengawasan atas pers, karena mereka tidak menghendaki mana kala pemerintahan menjadi terganggu akibat dari pemberitaan di media-media massa. Sehingga fungsi pers sebagai transmisi informasi yang obyektif tidak dapat dirasakan. Padahal dengan transmisi informasi yang ada diharapkan pers mampu menjadi katalisator bagi perubahan politik atau pun sosial.
Sedangkan pada masa Orde Baru, fungsi katalisator itu sama sekali hilang. Hal ini seperti apa yang disampaikan oleh Abar (1994: 23) bahwa kebebasan pers waktu itu ternyata tidak berhasil mendorong perubahan politik menuju suatu tatanan masyarakat yang demokratis, tetapi justru mendorong resistensi dan represi negara. Penelitian yang dilakukan Abar berkenaan dengan pers di awal masa Orde Baru bisa jadi benar hanya pada titik tertentu. Artinya, pertanyaan yang relevan untuk diajukan adalah mengapa negara begitu resisten dan represif terhadap pers? Penelitian ini sendiri sama sekali tidak menyinggung hal tersebut. Padahal pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang sangat mendasar tentang sistem kepolitikan Orde Baru khsususnya perlakuannya pada lembaga pers.
Jika kita mencoba mejawab pertanyaan mendasar di atas, kita harus menengok bagaimana pemerintahan Orde Baru berdiri. Soeharto memiliki latar belakang militer dalam karir politiknya. Sehingga ketika ia menjadi presiden, ia tidak dapat melepaskan diri dari gaya-gaya kepemimpinan a la militer. Di awal kepemimpinannya, ketika situasi dalam negeri sedikit-banyak mengalami kekacauan akibat intrik-intrik politik dari berbagai kelompok kepentingan, misalkan Partai Komunis Indonesia, bisa jadi kepemimpinan model militer adalah yang tepat. Situasi yang darurat, anomali sosial begitu banyak, maka situasi semcam itu perlu distabilkan agar tidak berdampak lebih buruk. Pada titik inilah Abdul Gafur (1988: 179), melihat bahwa fungsi militer pada masa Orde Baru adalah sebagai stabilisator juga dinamisator. Dengan dua fungsi itu, militer atau tepatnya ABRI dengan dwi-fungsinya ikut terlibat dalam penyusunan kebijakan-kebijakan politik Orde Baru.
Sayangnya, model kepemimpinan a la militer itu tetap Soeharto pakai hingga era 1970-1980an. Padahal kondisi masyarakt saat itu sedikit-banyak sudah berubah. Masyarakat semakin cerdas dan semakin paham tentang hakikat negara demokratis. Dengan sendirinya model kepemimpinan Soeharto tertolak oleh kultur atau masyarakat. Untuk tetap mempertahkan kekuasaanya Soeharto menggunakan cara-cara represif pada semua pihak yang melawannya. Model kepemimpinan ini banyak sekali mendapat kritikan dari berbagai pihak, karena secara esensial apa yang diklaim Soeharto dengan demokrasi Pancasilanya tak lain adalah proyek hegemoni dan dominasi besar-besaran atas kesadaran masyarakat. Dalam mewujudkan proyek besar itu, Soeharto menggunakan militer sebagai alat yang efektif untuk mengawal setiap kebijakan yang ia keluarkan.
Pada titik itulah, pers melihat bahwa model kepemimpinan yang digunakan Soeharto akan memberangus kebebasan masyarakat. Artinya juga logika kekuasaan semacam itu pada suatu waktu akan menghancurkan dirinya (pers), karena pers adalah salah satu pilar penyusun sistem demokrasi yang memiliki funsgi pentingnya. Artinya pola yang digunakan Soeharto pada esensinya kontradiktif dengan logika pers itu sendiri. Tidak heran jika Orde Baru sedemikian represifnya dengan pers, karena pers adalah penghalang bagi lahirnya demokrasi Pancasila yang hegemonik dan dominatif.
Untuk mengoperasikan model kepemimpinannya, maka Orde Baru harus mengideologisasikan keamanan masyarakat. Artinya, Orde Baru harus mampu menciptakan kesan bahwa rasa keamanan selalu dibutuhkan. Untuk menciptakan perasaan semacam ini pada masyarakat, maka Orde Baru menggunakan logika perpetuation of insecurity atau mengabadikan rasa ketidakamanan. Dengan mengabadikan rasa ketidakamanan ini, Orde Baru akan lancar ketika menggunakan kepemimpinan yang militeristik. Sehingga, dengan sendirinya pengabadian rasa ketidakamanan ini menjadikan kemanan layaknya seperti agama. Dakhidae (1997: 28), mencatat bahwa kemanan yang dihubungkan dengan pers itu bukan keamanan yang sifatnya fisikal, tetapi kemanan di sana sudah menjadi suatu ideologi, dan dalam prosesnya terjadi suatu ideologisasi keamanan, dan bahkan lebih jauh menjadi suatu religiofication of security.
Keamanan menjadi semacam agama, dalam pengertian ini ideologi kemanan bekerja seperti dalam arti yang biasa. Ideologi kemanan merumuskan tindakan, mengatur kebijakan negara, dan pada gilirannya kebijakan negara tersebut mengatur perilaku aparat dan warga negaranya.
Nasib pers pada masa ideologisasi kemanan ini sangat sulit, karena pers harus bertindak dalam kerangka yang abu-abu. Kerangka yang diterapkan kepada pers adalah bagaimana pers mengalami sebuah bentuk tautologi represif. Artinya, pemisahan antara kebebasan dan tanggungjawab. Orde Baru tidak memformulasikan kebebasan pers yang bertanggung jawab—artinya, tanggung jawab adalah garis batas kebebasan dan sebaliknya tidak kurang benarnya yakni kebebasan adalah garis batas tanggungjawab. Tanpa kebebasan tidak mungkin menuntut tanggungjawab dan tanpa tanggungjawab tidak mungkin menuntut kebebasan—tetapi dengan rumusan pers bebas dan bertanggungjawab (dalam Dakhidae, 1997: 31).
MASALAH PERS DI SEPUTAR ORDE REFORMASI
Tertutupnya kran kebebasan pers ternyata pada gilirannya turut mendorong insan-insan jurnalis untuk meneriakan reformasi. Lebih-kurang 30 tahun lamanya masyarakat kita berada di bawah rezim yang otoriter, memberangus kebebasan dan meniadakan penghormatan kepada hak-hak azasi manusia. Pemrintah beranggapan bahwa rakyatlah yang harus menurut, bahwa pemerintahlah yang benar dan harus diturut. Dan mereka yang mencoba-coba memberikan kritiknya pada kekuasaan, yang mencoba memberikan alternatif yang lebih baik kepada kekuasaan akan dianggap ‘menyerang kehormatan’ kekuasaan, ‘merongrong kewibawaan’ kekuasaan dan sebab itu harus dimusuhi, mereka ditindas, ditangkap, diajukan ke pengadilan, dihukum penjara, disiksa atau ditembak sebagi ‘pengacau keamanan’ negara dan ‘pengganggu stabilitas’ nasional (dalam Pamungkas, 2003: 24).
Keotoriteran Orde Baru akhirnya disambut oleh masyarakat dengan teriakan reformasi. Perubahan pemerintahan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih demokratis. Pada titik inilah, pers kembali memainkan perannya setelah lama dibungkam, dipaksa untuk tutup mulut. Selanjutnya, pers tampil dengan wajah baru; demokratis, akomodatif, transformatif, sekaligus konsolidatif terhadap semua kepentingan kemanusiaan dalam dimensi kewarganegaraannya. I’tikad baik pemerintah di masa Orde Reformasi ini terlihat dari lahirnya UU No. 40 Tahun 1999, UU ini juga sekligus mencabut UU No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, yang dijadikan legitimasi hukum oleh rezim yang hegemonik sebelumnya.
Masalah baru muncul ketika kebebasan pers dikhawatirkan kebablasan. Hal ini terlihat dari pemberitaan yang dianggap kurang balance antara kepentingan masayarakt dan kepentingan pers (tingkat oplah). Untuk itu, pihak pers cenderung mengutakan konsep berita yang kurang obyektif, sensasional dan sangat partisipan; kemudian pada level etis kemanusiaan kebebasan pers dinilai telah mengangkangi nilai dan norma kemasyarakatan dan lebih mengutamakan kaidah jurnalistik itu sendiri. Kekhawatiran masyarakt terhadap kebebasan pers, juga muncul dalam aksi perlawanan dalam bentuk kekerasan fisik. Hal ini antara lain ditandai dengan penyerangan harian Jawa Pos di Surabaya oleh Banser pendukung Abdurrahman Wahid (alam Emilianus, 2005: 128).
Emilianus (2005: 134), juga mencatat bahwa klaim kebebasan bisa dilihat dari kebebasan pers (liberal), yang dinilai menafikan nilai human being dan telah merongrong keutuhan ruang privat manusia. Dari fakta ini muncul kegamangan dan kemuakan masyarakat terhadap kebebasan pers yang dinilainya kebablasan. Kebebasan yang demikian berakibat pada rusaknya moral masyarakat dan mengganggu kedaulatan pemerintah, sehingga muncullah tuntutan masyarakat dan pemerintah terhadap pers, khususnya pada pers yang hanya sensional dan komersil belaka dalam menyajikan informasi.
Peran pers di masa reformasi menjadi penting untuk menyelesaikan kesenjangan komunikasi politik antara masyarakat dan pemerintah. Tentunya hal yang wajar jika masyarakat gagap hendak menggunakan model komunikasi semacam apa ketika reformasi telah membuka kran kebebasan sebebas mungkin, pasalnya masyarakt sudah terbiasa dengan pola komunikasi top-down selama 30 tahun lamanya. Di sinilah pers menjadi media yang memungkinkan untuk menjembatani masyarakat dan pemerintah agar komunikasi politik yang terjadi tidak melulu berkesan top-down, tetapi pada titik tertentu menjadi bottom-up. Meskipun pada praktiknya untuk mewujudkan komunikasi politik bottom-up melalui media massa tidaklah mudah. Karena pada masa reformasi, setiap komunikator politik memainkan perannya lebih maksimal. Muis (2000: 166), mencatat bahwa hampir semua opini publik yang bernuansa kritik sosial yang konstruktif melalui pers hampir selalu memperoleh bantahan dari para komunikator elit, yang ada justru pers menjadi media yang memungkinkan terjadinya krisis informasi.
Orde Reformasi ternyata menyisakan masalah bagi pers, tidak hanya masalah kebebasan pers yang dinilai kebablasan oleh pemerintah, lebih-lebih masyarakat. Tapi juga masalah yang pokok yang mencerminkanfungsi dari media massa itu sendiri. Emilianus (2005: 129), mencatat sedikitnya ada enam prinsip tanggungjawab sosial yang harus diemban oleh pers. Pertama; media mempunyai kewajiban tertentu kepada masyarakat, kedua; kewajiban tersebut dipenuhi dengan menetapkan standar yang atau tinggi tentang informasi, kebenaran, obyektivitas dan keseimbangan, ketiga; dalam menerima dan menerapkan kewajiban tersebut seyogyanya media dapat mengatur diri sendiri dalam kerangka hukum dan lembaga yang ada, keempat; media sedapat mungkin menghindari segala sesuatu yang mungkin menimbulkan kejahatan, yang akan mengakibatkan ketidaktertiban atau penghinaan terhadap minoritas etnik atau agama, kelima; media hendaknya bersifat pluralistik dan mencerminkan kesempatan yang sama untuk mengemukakan berbagai sudut pandang, dan hak untuk menjawab, keenam; masyarakat memiliki hak untuk mengharapkan satandar prestasi yang tinggi dan intervensi dapat dibenarkan untuk mengamankan kepentingan umum.
Beberapa prinsip umum di atas pada kenyataanya justru tergerus dan kurang optimal karena atmosfir perss euphoria. Pers menjadi lupa akan posisinya di tengah-tengah sirkum pemerintah-masyarakat-modal. Di masa itu, pers lebih menampilkan diri sebagai pihak yang dekat kekuasaan dan modal. Dan hal ini harus diantisipasi dengan masyarakat sebagai pengawas atas perilaku pers di Indonesia.
PENUTUP
Di masa Orde Baru, pers sedemikian kukuhnya memperjuangkan kebebasan yang akhirnya ia berhadap-hadapan dengan rezim yang otoriter. Tetapi, nasibnya juga belum kunjung baik ketika Orde Reformasi. Pada masa ini, nasib pers justru melampui yang seharusnya, untuk itu ia harus berhadap-hadapan dengan pemerintah, lebih-lebih masyarakat.
Maka untuk mengamankan relasional pers-pemerintah-masyarakat-modal, haruslah ada cyrcle of control; dari masyarakat kepada pers, pers kepada pemerintah dan modal. Pada titik inilah, komunikasi dua arah dengan sendirinya akan terbangun. Kontrol melingkar ini tentu saja mensyarakat kesadaran politik masyarakat yang tinggi. Kesadaran politik ini bisa sedikit-banyak berkembang dengan mengutamakan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) bukan pembangunan ekonomi seperti pola yang digunakan oleh Orde Baru masa 70-80an. Jika hal ini lahir, maka kita tidak perlu mengkhawatirkan keotoriteran seperti Orde Baru atau kebebasan yang kebablasan di Orde Reformasi, akan terulang kembali dalam lembaran sejarah bangsa ini.
KEBEBASAN PERS PADA MASA ORDE LAMA
Orde lama, masa sesusah masa demokrasi liberal. disebut juga pers terpimpin. skitar tahun 1956-1966.
PERS PADA MASA ORDE BARU
Pada awal kepemimpinan orde baru menyatakan bahwa membuang jauh praktik demokrasi terpimpin diganti dengan demokrasi Pancasila, hal ini mendapat sambutan positif dari semua tokoh dan kalangan, sehingga lahirlah istilah pers Pancasila. Menurut sidang pleno ke 25 Dewan Pers bahwa Pers Pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap, dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Hakekat pers Pancasila adalah pers yang sehat, pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat, dan kontrol sosial yang konstruktif.
Masa kebebasan ini berlangsung selama delapan tahun disebabkan terjadinya peristiwa malari (Lima Belas Januari 1974) sehingga pers kembali seperti zaman orde lama. Dengan peristiwa malari beserta beberapa peristiwa lainnya, beberapa surat kabar dilarang terbit/dibredel, yaitu Kompas, Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo yang merupakan contoh-contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Pers pasca peristiwa malari cenderung pers yang mewakili kepentingan penguasa, pemerintah atau negara. Kontrolterhadap pers ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Indepen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara. Pemerintah orde baru menganggap bahwa pers adalah institusi politik yang harus diatur dan dikontrol sebagaimana organisasi masa dan partai politik.
Pers merupakan salah satu garda demokrasi. Tingkat demokratisasi suatu bangsa dapat diukur dari kebebasan pers yang dianut sistem sosial kemasyarakatannya. Yang ditentukan antara lain oleh deregulasi pemerintah dalam bentuk produk hukum yang mengatur sistem pers itu sendiri. Setiap negara syah dan jamak melakukan tafsiran dan definisi mengenai kebebasan pers yang ingin dianutnya. Sebab insan pers tetaplah bagian tidak terpisahkan dari masyarakat. Artinya tetap harus tunduk terhadap apa yang menjadi konsensus umum dan menghormati nilai-nilai kultur yang ada ditengah-tengah masyarakatnya. Kalau kemudian ada perubahan nilai maka pers harus mengikuti jika tidak ingin mati atau dimatikan. Sebab dunia pers itu selalu dan harus dinamis. Sedinamis masyarakat penggunanya. Meski begitu, tidak salah jika pers yang menjadi katalisator perubahan masyarakat asalkan insan pers yang berniat menjadi katalisator tersebut punya cukup energi untuk melakukannya.
Penulis pada kesempatan ini akan mengangkat dan membahas mengenai beberapa permasalahan dari segi hukum dan regulasi penguasa politik yang pernah mendera pers Indonesia mulai dari era orde lama, sampai orde sekarang ini yang oleh sebagian kalangan disebut-sebut sebagai orde reformasi.
PEMBREIDELAN BPS TAHUN 1965
Merasa tidak nyaman dengan keberadaan dan pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) di kancah perpolitikan nasional, sejumlah penerbitan pers bergabung dengan gerakan yang dinamai Barisan Pendukung Soekarno (BPS). Selain penerbitan pers gerakan BPS juga didukung beberapa gelintir elit politik yang setia kepada Pancasila dan konsep NKRI. Salah satu elit politik yang menjadi pelopor sekaligus masuk jajaran pimpinan barisan pendukung Soekarno adalah, H. Adam Malik.
Namun bisa dikatakan bahwa tahun 1965 merupakan puncak kejayaan sekaligus awal kehancuran PKI. Dengan mempergunakan pengaruhnya yang sangat kuat kepada presiden waktu itu. Ir. Soekarno PKI berhasil menggunakan tangan pemerintah untuk membubarkan dan melarang segala kegiatan Barisan Pendukung Soekarno. Setelah menebar fitnah bahwa gerakan ini berusaha mendalangi pembunuhan sang proklamator kemerdekaan RI yang akhirnya terjadi pemberedelan gerakan Barisan Pendukung Soekarno berikut 29 surat kabar nasional, salahsatunya adalah Harian Wapada Medan yang ternyata hanya merupakan salah satu trik politik PKI untuk memuluskan usahanya merampas kekuasaan negara.
IMBAS DARI PERISTIWA MALARI
Peristiwa Malari bermula dari aksi demonstrasi mahasiswa yang kemudian meluas menjadi kerusuhan massal pada tanggal 15 Januari 1974. Kerusuhan ini merupakan bentuk penentangan atas kunjungan kenegaraan PM Jepang, Tannaka waktu itu lantaran mahasiswa merasa tidak puas atas kondisi perekonomian nasional yang terkesan dimonopoli dan didikte oleh pihak Jepang. Beberapa media cetak yang dianggap vokal yakni Harian Nusantara, Mahasiswa Indonesia, Abadi, KAMI, Indonesia Raya. Mingguan Pemuda Indonesia, Jakarta Times, Abadi, Wenang dan majalah Ekspres dibredel. Bisa dikatakan inilah masa tersuram pers Indonesia di zaman orde baru.
Pada kasus pembredelan media massa sebagai ekses dari peristiwa malaria, tidak banyak yang bisa dilakukan, baik oleh insan pers maupun insan hukum yang cinta akan kebebasan dan kebenaran. Pada masa itu cengkeraman orde baru begitu kuat menghujam segala sendi kehidupan bangsa. Surat izin cetak media yang dianggap menghasut rakyat dicabut. Dengan dalil melanggar ketetapan MPR No. IV/ MPR/1973 tentang ketentuan pokok pers. Jargon-jargon demi stabilitas nasional menjadi acuan bagi pemberantasan sikap kritis terhadap penguasa. Sikap arogansi inilah yang akhirnya menghantarkan rezim orde baru ke gerbang kehancurannya pada tahun 1998. Sekaligus pembuktian kebenaran suara-suara kritis yang sebelumnya dianggap sebagai perbuatan makar.
PENYADAPAN TELEPON
Oleh Metta dan Tempo, pihak kepolisian diadukan kepada dewan pers karena ditengarai telah melakukan penyadapan telepon antara wartawan Tempo dengan terpidana 11 tahun penjara dalam kasus pembobolan PT. Asian Agri, Vincentius Amin Susanto. Penyadapan itu dinilai bertentangan dengan semangat kebebasan pers meski pihak kepolisian membantah keras telah melakukan penyadapan.
Pada kasus penyadapan telepon wartawan majalah Tempo, bisa dikaji dari berbagai sisi. Salah satu sisi adalah lemahnya perlindungan terhadap konsumen. Dimana privacy Metta sebagai pengguna layanan komunikasi begitu mudah diinjak-injak oleh operator atas nama perintah yang berwenang. Padahal di negara lain, informasi yang terkait dengan pelanggan kalaupun diperlukan untuk penegakan hukum harus berdasarkan keputusan pengadilan. Lagi pula posisi Metta pada waktu itu adalah wartawan. Dalam kode etik wartawan yang berlaku hampir di seluruh dunia, wartawan mempunyai hak tolak. Yang mengandung pengertian bahwa wartawan berhak bahkan seharusnya melindungi informasi identitas nara sumber apabila dianggap perlu. Bahkan sekalipun jika hal itu diperintahkan oleh pengadilan. Hanya kejahatan yang menyangkut keamanan negara dan bangsa yang bisa dianggap sebagai alasan menggugurkan hak tolak ini. Itupun semuanya tergantung si jurnalis sendiri. Kalaupun ada sangsi hukum, maka sepenuhnya ditanggung oleh si wartawan.
Setiap saat pers selalu saja memiliki kemungkinan berbenturan dengan penguasa maupun hukum. Namun hendaknya hal itu tidak menyurutkan langkah insan pers terutama insan pers Indonesia untuk memperjuangkan keadilan. Karena setiap tindakan pastilah memiliki konsekuensi, baik itu yang akan berdampak positif maupun negatif terhadap si pelaku. Keprofesionalan dan kehati-hatian insan pers harus terus menerus ditingkatkan guna menghindari jerat hukum tanpa harus membuang fungsi sebagai sosial kontrol di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, kalaupun harus tetap berhadapan dengan hukum posisi insan pers adalah sebagai korban kedzaliman bukan pelaku pendzaliman.
Yang tidak kalah penting dibangun dimasyarakat adalah kesadaran dan kecerdasan bermedia. Sehingga masyarakat tahu hak-haknya ketika berinteraksi dengan media massa. Tanpa harus sikap ketakutan ataupun memusuhi. Pihak penguasa politik juga seharusnya menempatkan media massa sebagai mitra. Bukannya oposisi yang harus dibasmi. Dari media, penguasa dapat mengetahui aspirasi masyarakat tanpa harus membuang banyak dana untuk terjun langsung ke lapangan. Media massa juga dapat dijadikan sarana pengukuran yang efektif terhadap suatu kebijakan yang telah dilaksanakan. Dan sebagai sarana menghimpun masukan, kritikan juga pelaporan penyimpangan oleh para pelaksana kebijakan di tingkat bawah. Sinergi yang positif antara pers dan penguasa akan menguntungkan masyarakat. Tidak perlu ada sikap saling memusuhi karena kebenaran tidak dapat dibungkam walaupun harus menghadapi beribu macam ancaman. Paling tidak, kebenaran akan mengakar dan bernyanyi di tiap sanubari seberapapun pengecut dan bejatnya ia. Dan kebenaran hanya menunggu waktu untuk membuktikan kekuatannya. Orde baru dan orde lama telah merasakannya. Semoga tidak terulang lagi di masa depan.
DAFTRA PUSTAKA
Abar, Ahmad Zaini. 1994. "Kekecewaan Masyarakat dan Kebebasan Pers". Prisma. Jakarta: LP3ES.
Afandi, Emilianus. 2005. Menggugat Negara; Rasionalitas Demokrasi, HAM, dan Kebebasan. Jakarta: PBHI.
Akhmadi, Heri (ed.). 1997. Ilusi Sebuah Kekuasaan. Jakarta: ISAI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar